Mengapa Wanita Selalu di Salahkan Dalam Kasus Perselingkuhan, Berikut Penjelasannya
Jakarta - Istilah perebut laki orang atau 'pelakor' sudah berkembang sejak lama di
tengah masyarakat. Istilah ini seakan-akan membuat perempuan selalu
berada di pihak yang salah dalam sebuah perselingkuhan. Namun, benarkah
demikian?
Menurut psikolog klinis dewasa yang memiliki spesialisasi di bidang
hubungan, keluarga, dan pernikahan, Pingkan Rumondor, asumsi mengenai
perempuan yang disalahkan dalam perselingkuhan bisa jadi karena adanya
sebutan 'pelakor', yang mengesankan bahwa perempuan merebut suami orang.
Sebaliknya, istilah 'pelakor' tersebut juga bisa jadi muncul karena
adanya anggapan umum bahwa dalam sebuah tindak perselingkuhan, pasti
perempuan lah yang salah, perempuan lah yang merebut suami atau pasangan
orang lain.
"Penyebutan 'pelakor' bisa dilakukan oleh media, warganet, atau
dikatakan secara langsung oleh istri yang suaminya selingkuh ke
perempuan yang menjalin relasi dengan suaminya,"ujar Pingkan
Pingkan menyampaikan bahwa kata 'pelakor' sebenarnya kurang tepat.
"Karena pada kenyataannya perselingkuhan adalah interaksi dua orang yang
tidak terpaksa, kalau terpaksa istilahnya lain lagi, yaitu pelecehan
atau pemaksaan," katanya lebih lanjut.
Jadi, jelas bahwa pemberian tag 'pelakor' kepada perempuan yang
berselingkuh dengan pasangan atau suami orang lain sebenarnya tidak
tepat.
Selain menyalahkan perempuan yang berselingkuh, tak jarang masyarakat
juga menyalahkan perempuan yang diselingkuhi. Dalam kondisi ini,
perempuan kerap dicap kurang dandan, tidak piawai merawat diri atau
keluarga, dan lainnya.
Nah, kira-kira, kenapa perempuan cenderung sering disalahkan saat pasangan atau suaminya selingkuh?
Mengutip HealthyWay, terapis keluarga, pernikahan, dan seks asal Amerika
Serikat, Georgia Nickles menyatakan bahwa secara historis, kebanyakan
perempuan bergantung pada laki-laki.
" Ada pembagian kerja. Laki-laki seharusnya berkonsentrasi pada
penyediaan makanan dan tempat tinggal, sedangkan perempuan seharusnya
menjunjung tinggi hubungan, menawarkan kenyamanan, kasih sayang, dan
kepuasan seksual, serta merawat rumah dan anak-anak mereka.
Stereotip ini berakar kuat dalam cara berpikir kita di period
contemporary saat ini, meski ada perubahan yang terjadi karena
peran-peran tersebut berkembang secara perlahan," ujar Georgia.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa meskipun perempuan sekarang bekerja di
luar rumah, membesarkan anak-anak mereka, dan telah berusaha untuk
mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki, mereka masih disalahkan secara
tidak adil ketika ada yang tidak beres dalam sebuah hubungan.
Alih-alih mempersalahkan orang yang melakukan perbuatan menyimpang,
dunia lebih suka mencari tahu alasan di balik itu dan kemudian
menyalahkan. Seringkali, kesalahan itu dibebankan kepada perempuan,
meski itu sebenarnya keliru.
Dampak bagi perempuan yang disebut 'pelakor'.
Kembali bicara soal 'pelakor', pelabelan ini sebenarnya menimbulkan
dampak tersendiri. Jika ada seorang perempuan disebut 'pelakor', karena
menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah berkomitmen dengan
perempuan lain,
hal ini memang mengesankan bahwa ia adalah pihak yang
aktif sementara laki-laki adalah pihak pasif.
Padahal, kenyataan yang sebenarnya tidak demikian. Seperti yang
diungkapkan Pingkan di awal, perselingkuhan merupakan interaksi dua
orang yang tidak terpaksa.
Karena itu, menurut Pingkan, bila seorang
perempuan mendapatkan tag 'pelakor', reaksi yang mungkin muncul ialah
perasaan marah.
"Perasaan marah muncul karena ada persepsi mengenai ketidakadilan,
kembali ke poin awal bahwa selingkuh adalah interaksi dua arah,"ujar
Pingkan.
Jika pelabelan ini terjadi terus-menerus, ada beberapa kemungkinan
dampak yang dapat terjadi. Pertama, pelabelan secara langsung yang
terjadi terus-menerus bisa mengganggu fungsi keseharian orang tersebut.
" Pelabelan yang memunculkan rasa marah ini dapat memicu pikiran
irasional atau memori pengalaman traumatis (jika ada), misalnya seperti
pikiran 'Saya orang jahat', 'Saya kotor', atau memori ketika mendapatkan
cemoohan di masa kecil," ungkap Pingkan.
Lebih lanjut, Pingkan menekankan bahwa dampak ini bisa sangat
berbeda-beda, tergantung sejarah kehidupan seseorang. Jika ada memori
traumatis,
dampak pelabelan secara terus-menerus akan semakin memperkuat
pikiran irasional dan memperbesar perasaan marah, sedih, serta
frustrasi.
Pada akhirnya, hal ini bisa mengganggu fungsi kehidupannya, seperti
sulit berkonsentrasi, merasa lelah dan kehilangan minat mengerjakan
pekerjaan atau hobi, dan lainnya. Selain rasa marah, respons existed
yang bisa muncul ialah menghindar dari sumber pelabelan.
Disalahkan dalam perselingkuhan, perempuan harus apa?
Jika dikonfrontasi dan disalahkan secara langsung dalam sebuah kasus
perselingkuhan, perempuan harus berusaha tenang. Orang yang
mengonfrontasi dan menyalahkan itu sedang marah dan frustrasi. Jadi,
tidak ada guna berargumentasi dengannya.
"Bisa jadi, ia tidak tahu persis apa yang terjadi antara Anda dan
suaminya. Tapi, kurang efektif kalau Anda mencoba berlogika dengan
seseorang yang sedang marah. Jadi, fokus pada mengelola emosi Anda dan
buat batasan, hindari situasi tersebut," ujar Pingkan.
Lantas, apa yang harus dilakukan bila kamu dikonfrontasi dan disalahkan
melalui media sosial dalam sebuah kasus perselingkuhan? Jika demikian
yang terjadi, kamu punya pilihan untuk tidak melihat komentar tersebut.
" Anda punya pilihan untuk tidak melihat komentar tersebut. Gunakan
pilihan mute atau blok, lalu kelola emosi Anda,"kata Pingkan.
Lantas, bagaimana bila seorang istri disalahkan, entah dicap kurang
dandan atau kurang pintar merawat tubuh, atas perselingkuhan yang
dilakukan suaminya?
Pingkan sendiri menyatakan bahwa selingkuh sebenarnya bisa terjadi pada
hubungan yang kelihatannya baik-baik saja.
"Mau istrinya dandan seperti
apa, bisa saja terjadi, karena selingkuh itu sebenarnya masalah komitmen
dari orang yang melakukannya,"ujar Pingkan.
Menurutnya, yang harus dicek adalah soal komitmen dari orang yang
melakukan perselingkuhan. "Bagaimana dan sejauh mana dia berkomitmen?
Ada apa dengan komitmennya?" ungkap Pingkan.
Komentar
Posting Komentar